Rabu, 08 September 2010

Idul Fitri dan Demokrasi Spiritual

Ahmad Syafii Maarif
Mengaitkan Idul Fitri tahun ini dengan demokrasi di Indonesia, apalagi dengan atribut spiritual (istilah Iqbal), seperti mengada- ada, bukan? Namun, jika perayaan ini diadakan masih dalam suasana demokrasi compang- camping, nyaris bebas nilai, isunya menjadi agak jelas.

UUD 1945 telah diamendemen sebanyak empat kali, sekalipun intinya adalah pembatasan masa jabatan presiden, sebagaimana yang tertera di Pasal 7 UUD asli yang berbunyi, ”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Ketentuan ”sesudahnya dapat dipilih kembali” inilah yang dinilai membuka pintu untuk sistem otoritarian karena tanpa pembatasan. Perubahan lain-lain hanyalah tambahan belaka.

Kita tengok dulu Idul Fitri pada 1 Syawal 1431/10 September 2010 besok pagi. Tidak ada catatan pasti sudah berapa kali perayaan Idul Fitri diadakan sejak Islam pertama kali menapakkan kaki di Nusantara ratusan tahun yang silam. Jika benar pendapat yang mengatakan bahwa Islam telah datang ke kepulauan ini sejak abad ke-7/8 Masehi, perayaan itu kira-kira telah berlangsung selama berabad-abad.

Di abad-abad permulaan itu, tentu shalat hari raya diselenggarakan di masjid-masjid/mushala-mushala sederhana dengan khotbah dalam bahasa Arab. Boleh jadi, sebagian pengkhotbah dan hampir seluruh jemaahnya tidak paham isi ucapan sang khatib.

Sisa fenomena ini masih sedikit ditemukan di berbagai kawasan Nusantara. Bagi mereka, menjadi tidak sah khotbah itu jika bukan dalam bahasa Arab, sebab itu adalah bahasa Nabi. Belum terjangkau di pikiran mereka saat itu bahwa Nabi berkhotbah dalam bahasa Arab karena memang itulah lingua franca masyarakat setempat, sesuatu yang sangat logis. Akan menjadi tidak logis jika pesan agama itu disampaikan dalam bahasa yang tidak dipahami jemaah.

Tradisi shalat di tanah lapang dan penyampaian khotbah dalam bahasa lokal adalah gejala abad ke-20, dipelopori terutama oleh Muhammadiyah. Islam dengan demikian menjadi agama yang lebih komunikatif. Bukankah khotbah itu bertujuan agar pesan agama dimengerti oleh pendengarnya dan dengan cara itu akan memengaruhi perilaku mereka ke arah yang lebih baik dan positif?

Adalah sebuah kesia-siaan manakala pesan itu hanya menguap ke udara lepas tanpa berdampak apa pun bagi pendengarnya. Terjemahan Al Quran ke dalam bahasa Indonesia adalah juga gejala abad ke-20. Sebelumnya, kitab suci ini hanya dibaca untuk mendapat pahala, tidak perlu dipahami maknanya. Maka, tidaklah mengherankan jika kebanyakan umat Islam Indonesia beragama secara tradisi, secara berketurunan, sedangkan pemahaman yang agak mendalam seperti diabaikan.
Mengagungkan Allah dan perasaan syukur
di hari Idul Fitri merupakan ujung dari 
seluruh dimensi spiritual puasa Ramadhan.
Namun, untuk mengubah pola pikir umat dalam masyarakat yang masih tertutup lagi sederhana itu bukanlah pekerjaan mudah, tidak jarang menyulut konflik. Belum lagi, tidak jarang para elitenya memanfaatkan situasi itu demi kepentingan hegemoninya agar tetap langgeng. Demikianlah, awal setiap upaya pembaruan dan gerakan perubahan keagamaan umumnya dicaci maki, dihujat, bahkan dikafirkan, tetapi diam-diam diikuti, asal dasar-dasarnya ditegakkan atas landasan yang kokoh secara iman dan dengan dalil yang kuat.

Apakah hakikat Idul Fitri itu? Ungkapan itu dapat berarti ”kembali berbuka” atau bisa juga ”kembali kepada kesucian, kepada otentisitas kemanusiaan”. Makna yang pertama dengan mudah dapat disaksikan, puasa Ramadhan telah usai, makan minum pada siang hari sudah tidak lagi haram.

Adapun makna kedua merupakan perjuangan tanpa henti, sebuah pendakian, sebuah riyadhah (latihan kejiwaan) yang memerlukan komitmen total. Itulah sebabnya Al Quran dalam surat Al-Baqarah Ayat 183 tidak serta- merta menjamin bahwa orang yang berpuasa pasti akan mencapai tujuannya. Ungkapan la’allakum tattaqun (semoga kamu berhasil meraih posisi takwa).

Orang yang bertakwa pasti dicintai dan diperlukan masyarakat luas, Muslim dan non- Muslim. Kehadirannya dirindukan karena membawa pesan kedamaian, persaudaraan, dan berita gembira buat semua. Itu dilakukan tanpa pura-pura, tetapi otentik. Ayat 185 dari surat yang sama memberitahukan bahwa Al Quran turun buat pertama kali bulan Ramadhan, sebuah pesan Langit berisi petunjuk terakhir bagi penghuni bumi seluruhnya, khususnya manusia, beriman atau belum beriman. Dengan demikian, puasa Ramadhan sekaligus merupakan momentum teramat penting untuk memperingati wahyu terakhir itu.

Ujung Ayat 185 menyatakan, ”Dan (Allah) menghendaki kemudahan bagimu, tidak menghendaki kesusahan; dan genapkanlah bilangan (puasamu), agungkan Allah atas segala hidayah yang telah diberikan kepadamu, dan semoga (dengan demikian) kamu akan pandai bersyukur”. Bagi yang beriman, puasa bukanlah beban kecuali bagi pekerja berat dan musafir yang kehausan.

Mengagungkan Allah dan perasaan syukur di hari Idul Fitri merupakan ujung dari seluruh dimensi spiritual puasa Ramadhan. Dimensi rohani ini, jika dibawa ke gelanggang politik di Tanah Air, maka kualitas demokrasi Indonesia pasti akan berorientasi pada tegaknya keadilan dan kesejahteraan untuk semua, bukan demokrasi untuk menggemukkan yang sudah gemuk. Kata akhir, ”Berapa lama lagi bangsa ini harus menanti agar didikan puasa dan perasaan syukur Idul Fitri memengaruhi cara kita berdemokrasi?”

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2010/09/09/11342254/Idul.Fitri.dan.Demokrasi.Spiritual

Tidak ada komentar:

Posting Komentar